#menuq{ font-family: Verdana; padding:10px;} .menuq a { color:yellow; border:1px #EDEEF0 solid; padding:5px; text-decoration:none;} .menuq a:hover {color:red; border:1px #000000 solid; text-decoration:none;} .menul .widget { border-bottom-width: 0;}
Foto saya
Alumni PS_SPL-IPB (Akt.III), Sekretaris HNSI Kabupaten Padang Pariaman, Ketua Alumni STIE Sumatera Barat

Welfare for All

Blog ini memuat tulisan tentang :
Sosek masyarakat pesisir, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, lingkungan hidup, mitigasi bencana, dan pemantauan pelaksanaan pembangunan di Sumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman


Selasa, 23 Februari 2010

Peranan Lembaga Adat Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Di Desa Katurai (Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai)


Oleh : H. Syaiful Azman, SE, M.Si

ABSTRAK

Terkendalanya berbagai pelaksanaan pembangunan di berbagai daerah Indonesia, pada umumnya disebabkan berbagai aspek non tekhnis, dimana perencanaan yang telah disusun sering mengabaikan aspek sosial dan budaya. Kondisi ini terjadi karena perencanaan pembangunan yang dilaksanakan lebih cenderung kearah kearah Top Down Planning, sehingga terjadi disintegrasi dalam masyarakat, ketidaksiapan budaya lokal dalam menerima intervensi yang akhirnya memunculkan konflik antara masyarakat dengan pelaksana pembangunan (kontraktor) dan pemerintah.

Dengan bercermin kepada berbagai permasalahan ini, maka untuk pembangunan yang akan dilaksanakan pada masa mendatang khususnya terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir harus memasukan berbagai aspek sosial dan budaya dalam perencanaan. Apabila dalam era reformasi seperti sekarang ini, faktor-faktor tersebut masih tetap diabaikan, maka konflik tersebut akan semakin terbuka.
I. PENDAHULUAN

Pulau Siberut merupakan pulau yang terbesar dari 4 (empat) pulau yang terdapat di Kepulauan Mentawai dengan luas ( 4.097 Km2. Secara geografis Pulau Siberut berada diantara 0055’ dan 3020’ lintang selatan dan 98031’ dan 100040’ bujur timur dengan puncak tertinggi ( 400 M dari permukaan laut dan jaraknya dari kota Padang ( 85 Km. Secara administratif Pulau Siberut ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai, terdiri dari 2 Kecamatan Induk dan 1 Kecamatan Perwakilan serta 23 Desa. selanjutnya penduduk Pulau Siberut menyebar mulai dari pantai sampai ke pedalaman (mengikuti aliran sungai).

Satu dari sekian desa yang berada di daerah pantai adalah Desa Katurai (Kecamatan Siberut Selatan). Desa Katurai ini mempunyai 4 Dusun, yaitu Dusun Tiop, Dusun Sarausau, Dusun Tolaulago dan Dusun Malilimok, ke empat dusun tersebut berada dipinggir Teluk Katurai. Terbentuknya Dusun-dusun ini karena adanya Proyek PKMT (Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing) oleh Departemen Sosial pada tahun 1980. Sebagai komunitas masyarakat adat, biarpun mereka tempat tinggal mereka berjauhan mereka masih terikat dengan kesukuan (clan). Kondisi tersebut membuat mereka memiliki hubungan kekerabatan cukup kuat.

Desa Katurai sebelumnya terkenal dengan keindahan alamnya, dimana pada Teluk Katurai dihiasi oleh ekosistim terumbu karang yang beraneka ragam serta biota laut lainnya. Selanjutnya di sepanjang pantai teluk ini terdapat ekosistim hutan mangrove yang cukup lebat dan disamping itu ditengah-tengah Teluk Katurai dijumpai beberapa pulau-pulau kecil yang juga ditumbuhi oleh mangrove.

Pada saat ini kondisi ekosistim tersebut telah jauh berubah, karena sebahagian habitat yang ada pada Teluk Katurai telah rusak akibat berbagai aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mengantisipasi agar kerusakan tersebut jangan sampai kronis maka sangat diperlukan sekali pengelolaan terhadap sumberdaya pesisir yang belum punah agar tetap tetap lestari.

II. Gambaran Umum Kehidupan Masyarakat

2.1. Pola Pemukiman.

Bagi masayarakat Mentawai, khususnya masyarakat Desa Katurai Kampung lebih diartikan sebagai tempat pemukiman. Ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan daerah lainnya di Kabupaten Kepulauan Mentawai, dimana kampung juga berfungsi sebagai penghasil bahan makanan tambahan dengan memanfaatkan lahan kosong disekitar rumah mereka dengan menanam berbagai jenis tanaman yang dapat menyokong hidup mereka.

Kampung di Desa Katurai hanyalah sekumpulan rumah yang berhalaman sempit, karena jarak antara rumah saling berdekatan. Halaman rumah kelihatan sangat gersang karena tidak ditanami tanaman pelindung ataupun tanaman pekarangan.

Rumah penduduk berbentuk rumah panggung yang didirikan diatas lahan yang sempit. Arah rumah tersebut pada umumnya menghadap kearah laut. Diantara rumah-rumah yang ada terdapat rumah besar (Uma). Uma ini disamping berfungsi sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai tempat dilakasanakannya upacara-upacara adat.

Pada umumnya di Kecamatan Siberut Selatan dalam satu Kampung biasanya ditemui hanya satu uma, tetapi pada Desa Katurai ditemui beberapa uma. Terdapatnya beberapa uma pada desa ini disebabkan pada Desa Katurai terdapat beberapa suku yang tinggal bersama, anggota tiap suku tinggal mengelompok.

Adanya pengaruh dari pembentukan desa-desa oleh pemerintah, telah merubah pola pemukiman secara tradisionil, tetapi struktur uma masih tetap sebagai dasar-dasar yang dihormati. Disamping itu dengan adanya perubahan tersebut telah menimbulkan pergeseran dalam menggunakan atau mengolah tanah dan hak untuk mengeksploitasi sumberdaya alam. Pada saat ini uma tersebut tidak dibangun lagi, karena adanya larangan dari pemerintah menganut agama Arat Sabulangan (Percaya kepada kekuatan roh-roh).

Rumah-rumah yang dibangun oleh penduduk sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan rumah penduduk yang berada didaratan Kabupaten Kepulauan Mentawai, dimana rumah hanya memiliki dua pintu, yaitu pada muka dan belakang tanpa mempunyai jendela. Rumah tersebut dibangun dengan konstruksi/bahan bangunan sebagai berikut :
· Atap dari rumbia
· Tiang dan rangka rumah dari kayu yang keras
· Dinding dari kulit kayu karai/rumbia
· Lantai dari kulit kayu aribuk yang disusun.

Perumahan penduduk yang terpencar-pencar menyulitkan pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat.

2.2. Tipe Aktifitas Ekonomi Masyarakat.

Sistim perekonomian masyarakat Desa Katurai lebih maju bila dibandingkan dengan dengan desa-desa yang berada dipedalaman, ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain :
· Jarak desa relatif lebih dekat dengan Ibu Kecamatan.
· Terletak dipinggir laut dengan tersedianya berbagai jenis sarana transportasi, yaitu perahu dayung dan speed boat.
· Masyarakat telah Terbiasa melakukan transaksi langsung yang dilakukan oleh Pedagang ke Desa Teluk Katurai tanpa
  melalui pasar.

Uang sebagai alat pengatur nilai dan sebagai penetapan harga relatif telah berfungsi sama sekali, walaupun sebahagian kecil masih terdapat sistim barter. Sistim barter yang dilakukan oleh masyarakat tersebut masih dalam batas kewajaran, karena dari segi pandangan mereka saling menguntungkan.

Aktifitas ekonomi terlihat dengan jelas apabila adanya kapal yang datang dari Kota Padang ke Kecamatan Siberut Selatan (Muara Siberut), dimana disepanjang Teluk Katurai terlihat berbagai kesibukan. Pemandangan ini sangat berbeda bila dibandingkan pada hari-hari biasa, masyarakat terlihat membawa hasil pertanian mereka untuk dijual kepada pedagang yang telah menunggu di Pasar Muara Siberut. Setelah transaksi dilakukan, biasanya masyarakat akan belanjakan lagi kepada berbagai kebutuhan mereka, untuk menabung belum terfikirkan oleh mereka, sehingga lembaga keuangan seperti BRI Unit Desa dalam operasionalnya sulit dalam menghimpun dana masyarakat.

Aktifitas ekonomi masyarakat tersebut hanya berlangsung dua kali dalam seminggu sesuai dengan jadwal kapal yang datang dari Kota Padang. Disamping itu aktifitas ekonomi juga terlihat bila ada kapal-kapal barang yang datang langsung ke desa Katurai untuk membeli hasil-hasil pertanian masyarakat, seperti : kopra, minyak nilam serta hasil hutan lainnya. Kondisi tersebut tidak mempengaruhi aktifitas masyarakat sehari-hari.

2.3. Akses Masyarakat Dengan Lingkungan.

Masyarakat Desa Katurai dalam kehidupan sehari-hari mempunyai akses langsung terhadap lingkungan, yaitu dengan memanfaatkan lingkungan disekitarnya guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, penduduk Desa Katurai memanfaatkan lingkungan disekitar mereka tersebut untuk :

2.3.1. Pertanian.

Masyarakat pada umumnya memiliki ladang dengan pola menetap, dimana ladang tersebut akan digunakan secara terus menerus. Jenis tumbuhan yang mereka tanam disesuaikan dengan kondisi tanah, pada tanah lembab dan basah mereka tanam keladi dan sagu, sedangkan pada tanah kering mereka akan tanami dengan pisang, nilam serta tanaman lainnya. Dalam mengusahakan ladangnya mereka lebih memperioritaskan kepada kebutuhan pokok mereka, seperti sagu, sedangkan pisang dan keladi digunakan sebagai makanan tambahan.

Dalam mengolah ladangnya masyarakat tidak mengenal teknologi, seperti pupuk, pestisida dll. Masyarakat dalam mengusahakan ladangnya secara alami, ini terlihat pada awal mereka membuka ladang. Dalam pembuatan ladang, hutan ditebang, setelah beberapa lama tanpa adanya pembakaran saresah tanah tersebut kemudian ditanami tumbuhan yang di ingini diantara pohon pohon yang telah ditebang. Penguraian saresah menjadi mineral terjadi perlahan-lahan sehingga tanah akan tetap subur untuk jangka waktu lama.

2.3.2. Perternakan.

Hewan ternak pada umumnya yang ditemukan di Desa Katurai adalah; babi, ayam dan itik, sedangkan sapi dan kerbau relatif hampir tidak ditemui. Dalam mengusahakan perternakan terlihat tidak adanya kesungguhan dari penduduk. Dalam waktu senggang masyarakat lebih senang berburu kehutan untuk mendapatkan hewan buruan. Ternak yang mereka miliki jarang untuk dikonsumsi. Dan hewan-hewan tersebut akan dikonsumsi pada saat pesta/acara adat. Hewan-hewan tersebut juga berfungsi sebagai alat tukar dan pembayar denda (tulo). Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani sehari-hari masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi ikan laut dan kepiting yang hidup dimangrove.

Lingkungan disamping memberikan manfaat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, masyarakat juga sangat mempercayai bahwa pada lingkungan bergentayangan roh-roh yang menetap pada pohon-pohon besar dan mereka juga menganggap tabu untuk memburu jenis-jenis hewan tertentu yang hidup dihutan.

III. Perumusan Masalah.

Desa Katurai memang terletak disepanjang pantai Teluk Katurai, tetapi akses langsung dari masyarakat setempat terhadap sumberdaya laut sangat kurang. Bagi masyarakat laut berfungsi sekedar untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dan disamping itu laut berfungsi sebagai sarana transportsi yang paling efektif.

Kondisi tersebut diatas kalau dihubungkan dengan sumberdaya laut dan sekitarnya tidak signifikan, karena telah terjadi pengrusakan lingkungan yang cukup serius, seperti rusaknya ekosistem terumbu karang dan ekosistem hutan mangrove. Rusaknya ekosistem terumbu karang sebagai akibat dari pemboman dan penggunaan potasium cyanida oleh nelayan pendatang untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak. Sedangkan rusaknya ekosistem hutan mangrove akibat tecemarnya laut di Teluk Katurai, karena adanya pabrik sagu yang membuang limbahnya langsung kelaut. Sagu yang diproduksi oleh pabrik tersebut bukan untuk komsumsi masyarakat setempat tetapi untuk kebutuhan lainnya.

Melihat kepada permasalahan yang ada di Desa Katurai perlu segera dilaksanakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan dengan melibatkan berbagai pihak, terutama sekali dengan mengfungsikan lembaga adat setempat.

IV. Tinjauan Konseptual.

4.1. Ruang Lingkup dan Pengertian.

4.1.1. Sistem Sosial.

Menurut Robert. MZ. Lawang sistem sosial merupakan sejumlah kegiatan atau sejumlah orang yang saling berhubungan (timbal balik) yang saling mendukung, dimana hubungan tersebut sifatnya konstan.Sistem sosial ini diciptakan oleh manusia, dipertahankan malah diubah oleh manusia itu sendiri dan oleh karena itu sistem sosial mempengaruhi prilaku manusia.

Dari pengertian tersebut perlu diperhatikan bahwa : setiap sitem sosial selalu mempertahankan batas-batas yang memisahkan dan membedakannya dari lingkungan serta mempertahankan keseimbangan dari kegiatan-kegiatan yang memungkinkan terus bertahan dan beroperasi.

4.1.2. Lembaga Lokal.

Lembaga lokal merupakan bahagian dari sistem sosial. Yang dimaksud lembaga lokal adalah ; lembaga yang tumbuh dan berkembang dari dan dalam sebuah masyarakat di wilayah tertentu (Yusny Saby. 1998). Lembaga Lokal bervariasi sesuai dengan kelompok masyrakat dan daerah masing-masing. Diantara lembaga tersebut ada yang mewakili kesamaan dan ada pula yang bertolak belakang.

Lembaga Lokal ini modelnya ada yang berbentuk organisasi dan non organisasi, ada yang bersumber dari kepercayaan sebuah agama, ada pula yang sekedar warisan budaya turun temurun. Namun semua itu telah diakui sebagai lembaga yang dihormati oleh masyarakat.

Perbedaan lembaga lokal yang bersumber pada agama dengan yang bersumber dari adat istiadat susah untuk dipisahkan dengan jelas, sebab pada dasarnya setiap prilaku kelompok masyarakat yang sudah bertahan lama, apa itu sakral atau tidak dapat ditelusuri asal usulnya dari kepercayaan atau agama masyarakat tersebut. Lambat laun praktek yang sakral (suci) itu di daerah menjadi profon (duniawi), atau mungkin saja prilaku/lembaga bersama itu disatu tempat atau lingkungan masyarakat dianggap sakral sedangkan ditempat lain dikatakan profon.

4.1.3. Lembaga Adat.

Lembaga Adat merupakan satu dari sekian banyak lembaga lokal yang terdapat dalam suatau masyarakat. Lembaga Adat ini terbentuk atas keinginan masyarakat berdasarkan atas nilai-nilai budaya/adat.

Lembaga Adat ini dapat berbentuk organisasi formal ataupun informal, di Sumatera Barat misalnya LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) dan budaya kerei (dukun) di Kepulauan Mentawai.

Lembaga Adat ini dapat berfungsi sebagai :
· Menjaga keutuhan masyarakat.
· Kontrol sosial.
· Memenuhi kebutuhan masyarakat.

4.1.4. Hak Ulayat Laut.

Hak ulayat laut (marine tenure) mengacu kepada seperangkat hak dan kewajiban timbal balik yang muncul yang berhubungan dengan kepemilikan yang nyata. Hak kepemilikan (property rights) ini berkonotasi memiliki (to own), memasuki (to acsess) dan memanfaatkan (to us). Baik konotasi memiliki, memasuki dan memanfaatkan tidak hanya mengacu kepada suatu wilayah penangkapan (fishing ground) tetapi juga mengacu kepada teknik-teknik penangkapan, peralatan yang digunakan dan sumberdaya yang dtangkap/dikumpulkan (Wahyono, dkk,1993).

Selanjutnya Wahyono juga menjelaskan bahwa hak ulayat laut adalah suatu sistim dimana beberapa orang atau kelompok orang memanfaatkan wilayah laut, mengatur tingkat dan derajat eksploitasi terhadap wilayah tersebut sehingga dengan demikian melindungi dari eksploitasi yang berlebihan (over eksploitation).

Dari uraian diatas hak ulayat laut dapat diartikan sebagai seperangkat aturan atau prektek manajemen laut dan sumberdaya yang terkandung didalamnya. Perangkat aturan hak ulayat laut ini menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya dan teknik pengeksploitasian sumberdaya tersebut.

4.2. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan.

4.2.1. Kebudayaan.

Banyak orang mengartikan kebudayaan sebagai suatu kesenian ; seni tari, seni drama, seni lukis, seni patung dll. Padahal kebudayaan itu mempunyai pengertian yang lebih luas, sebab kebudayaan meliputi semua hasil dari cipta, karsa dan karya manusia, baik yang materil maupun yang non materil (M. Hakim Nyak Pha. 1995). Kebudayaan materil adalah hasil cipta dan karsa yang berwujud benda atau alat pengolah sumberdaya alam, gedung, jalan dll. Sedangkan kebudayaan non materil adalah hasil cipta dan karsa yang berwujud kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat, kesusilaan, ilmu pengetahuan, keyakinan dll.

Didalam suatu masyarakat, kebudayaan disuatu pihak dipengaruhi oleh masyarakat. Tetapi dilain pihak masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan, misalnya masyarakat Suku Mentawai karena tidak ada pakaian tato dijadikan sebagai pengganti pakaian. Jadi jelaslah kebudayaan adalah suatu hasil cipta pada hidup bersama yang berlansung dalam kurun waktu yang cukup lama.

Dengan hasil budaya manusia terjadi pola kehidupan, dan pola kehidupan inilah yang menyebabkan hidup bersama menjadi langgeng dan dengan pola kehidupan ini pula dapat mempengaruhi cara berfikir dan gerak sosial manusia.

4.2.2. Masyarakat dan lingkungan.

Manusia merupakan bagian dari alam semesta, namun alam adalah satu-satunya makhluk hidup yang mempunyai kelebihan yaitu akal dan bahasa bila dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Dengan akal dan bahasa itulah manusia mampu menghubungkan dirinya dengan alam sekitarnya seperti dengan benda mati, hidup apalagi dengan sesama manusia.

Manusia tidak dapat mempertahankan eksistensinya tanpa hidup bermasyarakat. Tingkah laku, tabiat dan kebiasaan-kebiasaan manusia tumbuh karena ia hidup bermasyarakat. Manusia disamping memerlukan pangan, sandang dan perumahan masih memerlukan harga diri, kehormatan, rasa kasih sayang dll.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia tersebut harus beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Adaptasi lingkungan akan menumbuhkan manusia untuk berfikir dan merenung dan lebih jauh akan menimbulkan persepsi, apresiasi, konsep dan fantasi. Pada giliran berikutnya lingkungan bahkan mampu membentuk dan menimbulkan emosi. Lingkungan mempunyai andil dalam melakukan perubahan budaya dan nilai-nilai dari suatu masyarakat atau bangsa.

4.3. Pendekatan Lembaga Adat Dalam Perencanaan Pembangunan.

Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) merupakan suatu lembaga perencana di daerah. Sebelumnya dalam menyusun program-program pembangunan belum melibatkan berbagai lembaga lokal yang terdapat pada masing-masing daerah, sehingga dalam pelaksanaan pembangunan terdapat berbagai kendala dan permasalahan pada umumnya disebabkan oleh faktor non teknis, seperti ganti rugi tanah, adanya proyek yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat serta permasalahan lainnya.

Pada era reformasi ini dalam dalam menyusun suatu program pembangunan keberadaan lembaga adat telah dikut sertakan, ini terlihat dari Temu Karya, Rakorbang (Rapat Koordinasi Pembangunan) Tingkat II dan Rakorbang Tingkat I, dimana pada waktu acara tersebut unsur-unsur lembaga adat dihadirkan untuk diminta masukan yang berkaitan dengan sosial budaya masyarakat setempat yang akan dijadikan lokasi pembangunan. Sehingga dengan menghadirkan unsur-unsur lembaga adat pembangunan yang dilaksanakan akan dapat berjalan sesuai dengan jadwal dan sasaran yang ditetapkan.

Pendekatan yang telah ditempuh oleh Pemerintah Daerah seperti tersebut diatas, karena Lembaga Adat yang merupakan bagian dari lembaga lokal telah teruji eksistensinya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dalam masyarakat. Untuk itu seyogianyalah Pemerintah Daerah untuk dapat mempertahankan, mengayomi serta memberdayakannya, diantaranya adalah melibatkan lembaga adat dalam perencanaan pembangunan. Mengingat sejumlah lembaga adat telah teruji dan terbukti dapat menjaga moral masyarakat.

Dalam pemberdayaan lembaga lokal ini, sejumlah negara di dunia ; seperti Cina, Jepang, Korea dan negara lainnya telah menerapkan konsep ini, sehingganya keberadaan lembaga tersebut telah memberikan sugesti dalam berbagai pelaksanaan pembangunan.

V. Tinjauan Empiris.

5.1. Lembaga Adat Sebagai Sitem Tebuka.

Berbagai kehidupan didunia ini merupakan sistem terbuka. Lembaga adat merupakan satu bentuk sitem sosial masyarakat yang bersifat terbuka yang mempunyai karekteristik sebagai berikut :

a. Impor Energi.

Terbentuknya suatu lembaga adat sangat dipengaruhi oleh stimulan dari lingkungan sekitarnya. Dan pihak-pihak lain diluar lembaga tersebut sangat dibutuhkan bagi kelansungan fungsi lembaga adat itu sendiri, sebab tidak ada satupun sistem sosial yang mampu menghidupi dirinya sendiri tanpa bantuan dari luar.

Memiliki Prosesing input menjadi out-put

Lembaga adat akan menciptakan berbagai aturan dalam segi kehidupan, tujuannya tidal lain adalah demi terciptanya suatu keseimbangan, baik antara sesama anggota masyarakat maupun antara masyarakat dengan lingkungan.

b. Mempunyai tujuan atau out-put

Lembaga adat selalu bertujuan atau menghasilkan out-put bagi lingkungan sekitarnya, baik berupa hasil pemikiran maupun berupa bentuk fisik, seperti pembangunan balai adat.

c. Mempunyai Pola Aktivitas yang bersifat Siklis.

Berbagai out-put yang dihasilkan oleh lembaga adat, harus memberikan suatu kepuasan kepada masyarakat, sehingga kepuasan masyarakat itu akan menambah eksisitensi lembaga adat itu sendiri ditengah masyarakatnya.

d. Membentuk Suatu Struktur yang Hirarkie.

Lembaga adat yang terdiri dari berbagai komponen. Komponen-komponen tersebut secara struktural membentuk suatu hirarkie, seperti : dalam masyarakat mentawai yang terdiri dari berbagai suku akan membentuk suatu lembaga adat.

e. Entropi Negatif.

Lembaga adat akan tumbuh dan berkembang apabila keberadaanya/ eksistensi sangat dibutuhkan oleh masyarakatnya (entropinya rendah). Entropi ini harus diupayakan serendah mungkin.

f. Input Informasi, Umpan Balik Negatif dan Proses Koding.

Berbagai peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga adat dalam pelaksanaannya harus dikontrol, sehingga bisa dijadikan umpan balik bagi lembaga adat tersebut untuk menyeleksi input yang masuk sebagai bahan pertimbangan (koding) untuk membuat berbagai keputusan pada masa mendatang.

g. Keseimbangan Dinamis (steady state) dan Homeostasis.

Lembaga adat selalu berupaya mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga yang dibutuhkan masyarakat pada kondisi tertentu, sehingga lembaga adat sebagai sistem sosial dapat berfungsi sebagaimana dengan yang telah digariskan. Proses homeostasis akan berlangsung dalam pelaksanaan lembaga adat bila memiliki kemampuan membentengi diri dari pengaruh luar, seperti intervensi pemerintah, budaya asing.

h. Diferensiasi

Berbagai elemen-elemen yang ada dalam lembaga adat akan menyatu dan akan menjadi suatu struktur yang sangat terdeferensiasi. Selanjutnya lembaga adat yang berkembang akan melakukan peningkatan kinerja dan eloborasi peran para anggotanya dengan spesialisasi fungsi yang lebih beragam.

5.2. Pendekatan lembaga adat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan

Untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan pendekatan lembaga adat dipandang efektif dan efesien dalam penerapannya. Pendekatan ini lebih berpeluang bila dibandingkan dengan pendekatan lainnya, karena dalam lembaga adat telah memuat ide-ide dan gagasan manusia dalam suatu masyarakat dan pada gilirannya akan memberikan jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan tersebut selalu berkaitan erat dalam membentuk dan menjadi suatu sistim, sehingga dalam masyarakat tersebut akan terlihat berbagai aturan, seperti interaksi antara sesama manusia dan manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Dengan multidimensinya peran dari pada lembaga adat, maka untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan pendekatan lembaga adat dipandang penting, mengingat sumberdya pesisir dan lautan secara fisik dan biologisnya jauh lebih rumit bila dibandingkan dengan sumberdaya alam lainnya, misalnya dalam penetapan batas-batas wilayah. Dalam hal ini bukan mengecilkan arti pendekatan lainnya.

Desa Katurai yang terdiri dari 4 (empat) Dusun, dimana keseluruhan dusun tersebut berada disepanjang pantai Teluk Katurai, dimana pada kondisi saat sekarang ini telah terjadi pengrusakan sumberdaya alamnya baik yang berada didaratan maupun yang dilautan. Pada daratan kerusakan ini terjadi akibat adanya perusahaan pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dalam operasionalnya terdapat berbagai pelanggaran tehadap peraturan yang berlaku. Kerusakan pada sumberdaya pesisir dan lautan akibat ulah dari manusia dalam menjalan berbagai aktivitas kehidupan.

Kerusakan yang menyolok pada sumberdaya pesisir dan lautan terlihat adanya kerusakan ekosistim hutan mangrove dan ekosistim terumbu karang. Kerusakan ekosistim hutan mangrove disebabkan adanya pabrik sagu yang membuang limbah langsung kelaut, sedangkan kerusakan pada ekosistim terumbu karang karena adanya nelayan-nelayan pendatang, dimana untuk mendapatkan ikan dengan jumlah banyak telah melakukan tindakan pengrusakan terhadap ekosistim terumbu karang dengan cara pemboman dan penggunaan potasium cyianida.

Untuk mengatasi kondisi seperti tersebut diatas Pemerintah Daerah Tingkat II Padang Pariaman telah memerintahkan kepada Dinas/Instansi terkait seperti, Camat, Koramil, Polsek dan Kamla untuk melakukan pengawasan tetapi usaha ini belum menampakan hasil. Belum berhasilnya usaha yang telah dilaksanakan Pemerintah Daerah dalam mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran tersebut, karena Pemerintah Daerah sebelum adanya Pokok-pokok Reformasi Pembangunan tidak melibatkan keberadaan lembaga adat yang ada di Desa Katurai seperti Kepala Suku dan Kerei. Kepala Suku dan Kerei di Desa Katurai sangat berperan dalam mengatur tatanan masyarakatnya, baik antara sesama manusia maupun dengan lingkungan. Padahal dalam masyarakat Desa Katurai telah terdapat suatu aturan yang diyakini yaitu tentang adaptasi masyarakat dengan lingkungan melalui berbagai kepercayaan yang dianut masyarakat.

Sebelum adanya larangan dari pemerintah (tahun 1955) menganut paham animisme yaitu percaya roh-roh (Arat-Sabulangan), dan sampai saat sekarang walaupun mereka telah menganut berbagai agama, tetapi mereka masih mempercayainya seperti :
· Roh laut (Tai Kabagat Koat), yaitu roh yang memberikan hasil laut seperti ikan dan menimbulkan badai badai serta   gelombang.
· Roh hutan dan gunung (Tai Kaleleu), yaitu roh yang memberikan hasil bumi, binatang dan segala sesuatu yang tumbuh.
· Roh urang-urang (Tai Ka Manua), yaitu roh yang menimbulkan hujan angin dan tanda-tanda dilangit.

Adat yang dianut berkaitan erat dengan Arat Sabulangan sehingga kepercayaan adat dan agama merupakan bentuk yang menyatu, dimana pada saat ini acara adat masih dipakai dimasing-masing dusun, meskipun terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya.

Disamping kepercayaan terhadap roh-roh masyarakat juga sangat taat dan tunduk Kepala Suku (Ritoma). Dalam kehidupan bermasyarakat Rimota berfungsi sebagai :
· Menentukan batas ladang, kebun dan hutan milik warga.
· Mengurus penggunaan tanah
· Menyelesaikan perselisihan menyangkut harta dan perkelahian.
· Mengurus upacara adat, perkawinan dan agama.

Selanjutnya di Desa Katurai terdapat suatu keunikan dimana, Kerei tidak hanya berfungsi sebagai dukun, tetapi juga pemuka masyarakat. Semua pembicaraan atau apa yang diperintahkan Kerei selalu diikuti oleh masyarakat. Kerei seolah-olah bisa menentukan hitam atau putih yang harus dipilih masyarakatnya (Yongki Salmeno, 1993).

Apa saja kegiatan yang akan dilakukan, masyarakat selalu meminta petunjuk dari sang Kerei. Jika Kerei memerintah semua orang harus bekerja, tidak ada yang bisa membantah atau mengubah keputusan tersebut. Walaupun dari segi status Ritoma lebih tinggi bila dibandingkan dengan Kerei, tetapi dalam kehidupan sehari-hari Kerei lebih berpengaruh bila dibandingkan Ritoma. Meskipun demikian dalam melaksanakan fungsinya tidak pernah terjadi pertententangan (dualisme) diantara keduanya.

Dengan adanya struktur pemerintahan baru dari organisasi sosial masyarakat seperti dusun dan desa telah disusun organisasi sosial uma tradisionil dalam bentuk lembaga-lembaga suku yaitu Parukat Panutubut Uma (PPU) yang terdiri dari setiap pemimpin suku (Sikautet Uma) yang mewakili keluarga (lalep) yang disebut Sikauma atau anggota suku.

Tujuan dibentuknya PPU adalah untuk melerai pertengkaran antara suku terhadap penggunaan sumberdaya alam dan masalah-masalah sosial. Disamping itu setiap adanya berbagai permasalahan, maka PPU akan berperan dalam mencarikan solusinya.

Dari gambaran diatas terlihat begitu besarnya peranan dari lembaga adat (Ritoma, Kerei dan PPU) di Desa Katurai, maka dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan sesuai dengan semangat Pokok-pokok Reformasi Pembangunan keberadaan lembaga adat ini perlu menjadi perhatian oleh Pemerintah Daerah dan apabila hal ini terabaikan mustahil pembangunan yang dilaksanakan akan berhasil sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

5.3. Bentuk-bentuk Hak Ulayat Laut.

Bentuk-bentuk hak ulayat laut (marine tenure) berbeda pada setiap komunitas nelayan. Di Jepang konsep hak ulayat laut yang disebut fishery right dan mendapat tempat secara formal. Fishery right dianggap sebagai konsensi perairan, semacam hak untuk mengelola suatu wilayah perairan untuk kepentingan perikanan. Pertimbangannya sederhana, bahwa dengan adanya hak ulayat laut itu, maka para nelayan atau usahawan perikanan akan bertanggung jawab terhadap kelanjutan sumberdaya di wilayah itu. Penangkapan ikan hanya boleh bagi anggota yang mengorganisir fishery right, sementara nelayan luar yang bukan sebagai anggota tidak diperkenankan melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah fishery right.

Berbeda dengan Indonesia (Maluku) hak ulayat laut yang disebut dengan sasi. Sasi ini dihidupkan melalui kelembagaan adat yang dikepalai oleh pemuka-pemuka adat disebut Kewang Laut. Sasi ini menetapkan larangan penangkapan ikan berdasarkan jenis ikan dan jarak dari desa. Terlarang menangkap ikan yang berada dalam daerah sasi dengan menggunakan jenis alat tangkap apapun, terkecuali dengan jala dan itupun harus dilakukan dengan berjalan kaki dan tidak boleh berperah. Persyaratan bgai orang yang mempergunakan jala hanya pada batas kedalaman air setinggi pinggang orang dewasa. Pada daerah lain juga dikenakan aturan sasi dengan menetapkan kawasan untuk penggunaan alat tangkap berupa jaring. Selain itu sasi dapat diterapkan oleh tokoh adat jika terdapat persengketaan dalam proses penangkapan ikan (Kissya, 1993)

Kondisi tersebut diatas sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan aturan yang terdapat di Desa Katurai. Pada Desa Katurai tidak terdapat suatu aturan mengenai hak ulayat laut, tetapi semua orang dapat mengambil hasil laut, bukan untuk perorangan. Masyarakat tidak mau menangkap ikan lebih banyak walaupun mereka tahu bahwa masih banyak ikan yang masih bisa mereka tangkap, sebab mereka meyakini bahwa dengan memanfaatkan sumberdaya laut secara berlebihan, maka roh penguasa laut (Tai Kabagat Koat) akan marah dan mereka meyakini kalau roh tersebut marah, maka bala akan menimpa mereka. Itulah pelajaran lain yang diwariskan oleh leluhur mereka. Untuk mengeksploitasi sumberdaya laut tidak boleh serakah, cukup untuk sekedar kebutuhan (Yongki Salmeno, 1993).

Adanya kepercayaan tersebut, maka masyarakat Desa Katurai dalam memanfaatkan sumberdaya lautnya selalu berhati-hati. Tetapi sebaliknya kondisi ini bertentangan dengan nelayan-nelayan pendatang, dimana mereka melakukan over eksploitation, sehingga terjadi pengrusakan terhadap ekosistim sumberdaya lautnya. Budaya yang telah dijalani oleh masyarakat ini perlu menjadi pemikiran dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.

VI. Pembahasan Masalah.

Desa Katurai yang terletak disepanjang Teluk Katurai memiliki wilayah pesisir yang sangat luas, dan kaya akan sumberdaya alam hayati dan non hayati. Secara umum masyarakat Desa Katurai dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut selalu menjaga kesimbangan, dimana mereka dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Khusus dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani mereka disamping memanfaatkan hewan ternak yang dimiliki, mereka juga memanfatkan sumberdaya laut, seperti ; ikan dan kepiting mangrove. Walaupun mereka mengetahui hasil dari sumberdaya laut mereka berlimpah, tetapi mereka tidak menggantungkan hidup mereka dilaut, mereka lebih mengutamakan untuk mengusahakan pada sektor pertanian dengan mengusahakan ladang dan hasil hutan lainnya.

Sebetulnya dengan berbagai aturan dan pola hidup yang demikian dari masyarakat Desa Katurai, konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sudah diterapkan sejak dari awal, tetapi justru yang terjadi adalah sebaliknya. Dimana pada Teluk Katurai terdapat pengrusakan dan pencemaran sumberdaya laut yang melewati batas toleransi.

Secara geografis, dan faktor alam teluk katurai merupakan daerah yang sangat strategis untuk sektor perikanan dan sektor pariwisata, dimana pada teluk ini dengan ombaknya yang cukup tenang, dengan ekosistim hutan mangrove disepanjang pantainya dan dasarnya lautnya terdapat ekosistim terumbu karang, sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan dan menjadi asset daerah dalam meningkatkan penerimaan keuangan daerah.

Dengan telah terjadinya pengrusakan dan pencemaran tersebut perlu segera dilaksanakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu dengan melibatkan berbagai pihak. Dari pemerintah Daerah yaitu melalui Dinas/Instansi terkait, sedangkan dari pihak masyarakat adalah melalui Lembaga Lokal terutama sekali Lembaga Adat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Langkah-langkah yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan Pokok-pokok Reformasi tersebut masih terdapat berbagai kelemahan terutama dari segi hukum seperti Undang-undang Lingkungan Hidup. Walau berapapun beratnya sanksi yang diberikan kepada orang yang melanggar Undang-undang tersebut, tetapi dalam pelaksanaan dilapangan belum diiringi dengan pengawasan sebagaimana mestinya dan bahkan tidak tertutup kemungkinan aparat penegak hukum sendiri yang melakukan pelanggaran, seperti yang terjadi di Kecamatan Siberut Selatan adanya oknum dari aparat keamanan yang melindungi orang-orang yang melakukan kegiatan yang menyalahi Undang-undang Lingkungan Hidup dan bahkan oknum aparat itu sendiri yang menjual potasium Cyianida. Dengan kondisi tersebut bagaimana supremasi hukum bisa ditegakan.

Mengingat telah disetujuainya Undang-undang tentang pembentukan Kepulauan Mentawai menjadi Kabupaten yang otonom, maka tentu dengan sendirinya wilayah pesisir akan menjadi pusat pembangunan. Kondisi tentu dapat dipastikan karena Kepulaun Mentawai yang terdiri dari pulau-pulau kecil, sehingga kawasan pesisir merupakan daerah yang strategis untuk dijadikan sebagai tempat pengembangan sentra-sentara ekonomi.

Untuk itu dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan sangat perlu unsur lembaga adat ini dimasukan dalam perencanaan program-program pembangunan, karena keberadaan Lembaga Adat ini sangat dihormati, khususnya di Desa Katurai. Sebagai contoh bagaimana peraturan-peraturan yang telah ada ditinjau kembali dan dilakukan perbaikan-perbaikan dengan memasukan unsur-unsur adat yang bisa disinkronkan dengan peraturan-peraturan itu sendiri, sehingga dalam pelaksanaannya Lembaga Adat mempunyai suatu kekuatan dan mempunyai eksistensi di tengah-tengah masyarakat. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui Peraturan Daerah (PERDA).

VII. PENUTUP.

7.1. Kesimpulan.

Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut :

· Masyarakat Desa Katurai secara tradisionil telah menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan (susteinable   development), dimana dalam memanfaatkan sumberdaya alamnya masyarakat selalu memperhatikan kesimbangan, sesuai   dengan aturan leluhur yang turun temurun serta sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut.
· Kerusakan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya pesisir dan lautan di Desa Katurai disebabkan nelayan-nelayan   pendatang dan lemahnya pengawasan. Disamping itu dalam pengelolaan yang dilaksanakan unsur lembaga lokal, terutama   lembaga adat belum dilibatkan dalam perencanaan.

7.1. Kesimpulan.

Agar dalam pelaksanaan pembangunan dapat terlaksana sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat, maka dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan perlu dilaksanakan sebagai berikut :
· Mengakui keberadaan lembaga adat dalam masyarakatnya sendiri dan membina serta melibatkannya dalam penyusun   program-program pengelolaan yang akan dilaksanakan.
· Produk-produk hukum (PERDA) yang dibuat oleh DPRD bersama Pemerintah Daerah yang berhubungan dengan pengelolaan   sumberdaya pesisir dan lautan harus memperhatikan aspek-aspek sosial dan budaya, dan sebelumnya harus dilakukan   Loka Karya dengan melibatkan seluruh Dinas Instansi terkait termasuk Lembaga Adat yang terdapat di daerah yang   bersangkutan.

Daftar Pustaka

Adiwibowo Soeryo, Catatan Perkuliahan Mata Ajaran Sistim Sosial Budaya-Hukum Masyarakat Pesisir.(SPL. 521)
Dauhuri Rokhmin dkk, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta 1996.
Hakim Muhammad Nyak Pha, Kelembagaan, Materi Diklat TMPP, Kerja sama Bappenas, Depdagri dan Unversitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, 1995.
Hakim Muhammad Nyak Pha, Faktor Sosial Budaya Dalam Perencanaan, Materi Diklat TMPP, Kerja sama Bappenas, Depdagri dan Unversitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, 1999.
MZ. Lawang Robert, Pengantar Sosiologi Modul 1-5, Karunika Universitas Terbuka, Jakarta 1986.
Mega Strukturindo Consultant. PT, Perencanaan Tapak Kawasan dan RTBL Siberut Selatan Sumatera Barat, 1999.
Persoon Gerrard dan Schefold Reimar, Pulau Siberut, Bharata Karya Aksara : Jakarta, 1985.
Salmeno Yongki, Menyusuri Pelosok Mentawai, Puspa Swara : Jakarta, 1994.
Saby Yusny, Pembangunan Nasional dan Peranan Lembaga Lokal, Materi Diklat TMPP, Kerja sama Bappenas, Depdagri dan Unversitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, 1998.
Warsilah Henny dan Wahyono Ary, F Aspek Sosial Budaya Pada Strategi Pengembangan dan Pengelolaan Ekosistim Pulau-Pulau Kecil Di Sulawesi Utara, Pusat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat dan Kebudayaan LIPIMateri Diklat TMPP, Kerja sama Bappenas, Depdagri dan Unversitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, 1999.

1 komentar:

  1. Salam kenal,
    Artikel yang menarik, dalam pengelolaan perikanan berbasiskan kearifan lokal ada beberapa batasan.
    1. Batasan wilayah
    2. Sistem aturan
    3. sistem sanksi
    4. lembaga berwenang
    5. Monitoring

    apakah kelima hal tersebut ada di desa katurai? kalau ada, saya ingin sekali mendalaminya. terima kasih.
    silahkan berkunjung ke www.ikanbijak.wodpress.com

    BalasHapus