#menuq{ font-family: Verdana; padding:10px;} .menuq a { color:yellow; border:1px #EDEEF0 solid; padding:5px; text-decoration:none;} .menuq a:hover {color:red; border:1px #000000 solid; text-decoration:none;} .menul .widget { border-bottom-width: 0;}
Foto saya
Alumni PS_SPL-IPB (Akt.III), Sekretaris HNSI Kabupaten Padang Pariaman, Ketua Alumni STIE Sumatera Barat

Welfare for All

Blog ini memuat tulisan tentang :
Sosek masyarakat pesisir, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, lingkungan hidup, mitigasi bencana, dan pemantauan pelaksanaan pembangunan di Sumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman


Selasa, 23 Februari 2010

“QUO VADIS” Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan dan Pengentasan Kemiskinan Nelayan ?


Oleh : H. Syaiful Azman,SE, M.Si

Dari beberapa kali rakor kepala daerah yang digagas oleh Gubernur Sumatera Barat, tema yang dibahas masih seputar isu kemiskinan. Kemiskinan merupakan permasalahan yang krusial dalam pembangunan daerah ini. Suatu pembangunan tidak akan berarti apa-apa kalau masyarakatnya masih berada dalam belenggu kemiskinan.

Pada rakor dimaksud, secara implisit penekanan masalah kemiskinan lebih difokuskan kepada kemiskinan nelayan. Penulis sangat sependapat kalau pengentasan kemiskinan tersebut dimulai dari wilayah pesisir, karena ada beberapa alasan utama sebagai berikut :
pertama , ± 15 % penduduk Sumatera Barat yang bermukim di wilayah pesisir hidup dalam kondisi miskin, fenomena ini sangat bertolak belakang dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki (yang katanya berlimpah).

kedua, kemiskinan nelayan cukup kompleks bila dibandingkan dengan kemiskinan penduduk yang bekerja pada sektor lain, dimana jam kerja terbatas karena dibatasi oleh musim, posisi tawar nelayan sangat lemah dan tidak memiliki mata pencaharian alternatif.

ketiga, pembangunan bidang kelautan dan perikanan selama pemerintahan orde baru termarginalkan, pembanguan lebih berorientasi pada sektor pertanian (up-land), sedangkan sub sektor kelautan dan perikanan merupakan hanya pelengkap.

keempat, Kelembagaan ekonomi bidang kelautan dan perikanan jumlahnya terbatas dan sulit berkembang, halnya ini disebabkan beberapa faktor seperti, terbatasnya skim kredit untuk nelayan, investasi yang dibutuhkan cukup besar dan resiko usaha cukup tinggi.

Dari berbagai alasan diatas, seharusnya sudah ada blue print pembangunan kelautan yang terintegral dalam upaya pengentasan kemiskinan nelayan.

Dengan berbagai kebijakan daerah sekarang ini menimbulkan satu pertanyaan, yaitu kapan pembangunan kelautan dan perikanan tersebut betul-betul menjadi arus utama (main-stream) kebijakan pembangunan daerah ?, disisi lain penulis melihat paradoks dan dualisme antara kebijakan dengan realita yang terjadi, antara lain :

pertama, sampai saat sekarang pemerintah belum mampu mereposisi kebijakan pembangunan kelautan, baik secara ekonomi politik, maupun kelembagaan. pembangunan kelautan masih status quo, masih terlihat ego dari masing-masing sektor. Permasalahan kemiskinan nelayan di Sumatera Barat tidak akan dapat diselesaikan hanya melalui sektor kelautan dan perikanan saja, tetapi seluruh sektor pembangunan yang ada harus terlibat

kedua, pembangunan kelautan dan perikanan belum mampu menciptakan clean dan good governance, dimana perencanaan pembangunan belum berdasarkan data dan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan, serta belum berangkat dari akar permasalahan, tetapi masih berdasarkan kepentingan pihak-pihak tertentu. (project oriented)

ketiga, pembangunan kelautan terlalu mengandalkan hutang luar negeri (maaf walaupun hutang RI) tidak significan dengan dana APBD, seperti rehabilitasi terumbu karang (COREMAP) dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut (MCRMP). Penulis bukan mempermasalahkan dari mana sumber pembiayaannya, tetapi sejauh mana program tersebut memberi dampak terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan.

keempat, belum pernah dilakukan identifikasi kebutuhan SDM bidang kelautan dan perikanan, pengembangan pendidikan SDM tidak sesuai dengan kebutuhan SKPD Kelautan dan Perikanan (konsentrasi pendidikan pada program MM), PNS yang diterima sebelumnya untuk mengisi formasi jabatan fungsional (penyuluh) banyak berkeliaran dijabatan struktural

kelima, peraturan dibidang kelautan dan perikanan belum sepenuhnya dapat direalisasikan, seperti masih maraknya illegal fishing, alur penangkapan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan pemanfaatan sumberdaya tidak berdasarkan zonasi

Merujuk kepada lima penyebab tersebut, sehingga sampai sekarang sector kelautan masih diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector). Sebagai solusinya harus ada orientasi kebijakan yang jelas, baik pada level politik, institusi, dan implementatif sebagai berikut :

pertama, pada level politik, Gubernur hasil pilihan rakyat, demikian juga DPRD hasil Pemilu yang jurdil, harus konsisten terhadap program bidang kelautan dan perikanan dan pengentasan kemiskinan yang disampaikan sewaktu kampanye, sebagai konsekuensinya program tersebut harus tergambar, mulai dari RPJPD, RPJMD, RKPD sampai pada APBD. Untuk anggota legislatif, setelah saudara berada pada lembaga DPRD, mari kita hilangkan, warna, simbol dan bendera partai, sebaliknya bagaimana anda bisa mengawal hasil Musrenbang daerah pemilihan saudara, sehingga saudara merupakan reperesentasi dari suara yang saudara wakili.

kedua, dilevel institusi, dalam penempatan figur-figur pejabat struktural pada SKPD terkait harus dimulai dengan niat yang ikhlas untuk kepentingan rakyat dan abaikan kepentingan politis, untuk itu tempatkan SDM yang professional dibidangnya mulai dari kabupaten/kota (kepala SKPD adalah rekomendasi Gubernur) sampai pada tingkat propinsi, dan utamakan jujur dalam pengabdian

ketiga, dilevel implementatif, peran tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin (oraganisasi kemasyarakatan/civil society organization) sangat diperlukan untuk mengawasi proses pembangunan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar