#menuq{ font-family: Verdana; padding:10px;} .menuq a { color:yellow; border:1px #EDEEF0 solid; padding:5px; text-decoration:none;} .menuq a:hover {color:red; border:1px #000000 solid; text-decoration:none;} .menul .widget { border-bottom-width: 0;}
Foto saya
Alumni PS_SPL-IPB (Akt.III), Sekretaris HNSI Kabupaten Padang Pariaman, Ketua Alumni STIE Sumatera Barat

Welfare for All

Blog ini memuat tulisan tentang :
Sosek masyarakat pesisir, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, lingkungan hidup, mitigasi bencana, dan pemantauan pelaksanaan pembangunan di Sumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman


Rabu, 06 September 2017

WISATA BAHARI BERKELANJUTAN: Kolaborasi Antara Estetika dan Etika

SYAIFUL AZMAN, SE, M.Si
Ketua Alumni Ika Stiesb Pariaman
Membangun wisata bahari tidak membutuhkan investasi yang besar bila dibandingkan membangunan wisata lainnya, sebab dalam wisata bahari kita tidak harus membangun objek wisata, tetapi wisata bahari objek itu sudah tersedia dengan sendirinya berupa pesona alam yang asli, mungkin yang dibangun hanya sarana pendukung, sehingga Pemerintah setempat atau investor tidak perlu susah payah mengeluarkan modal besar untuk membangun obyek wisata. Daya tarik wisatanya sudah tersedia berupa pesona alam

Kalaupun membangun fasilitas, berupa cottages atau tempat peristirahatan, tidak perlu modal besar karena biasanya wisatawan menyukai tempat peristirahatan yang alami, bukan berupa hotel mewah. Contoh yang paling sederhana adalah di Wakatobi, misalnya, tersedia resort yang atapnya dari rumbia dan dindingnya sederhana. Namun, 11 kamar yang ada di resort itu tak pernah sepi wisatawan mancanegara dan bisa menghasilkan Rp 22 miliar setahun. ”Kesunyian, keterisolasian, serta keindahan terumbu karang dan ikan hias itulah yang menjadi daya tarik wisatawan.
Selama ini pengembangan pariwisata yang dilakukan oleh banyak daerah tidak lebih kepada euforia semata, yang tujuannya hanya untuk memburu rente berupa PAD (Pendapatan Asli Daerah) tanpa memperhatikan faktor faktor lainnya, seperti estetika, etika, dan kearifan lokal. Dengan kondisi ini, keberadaannya itu sendiri hanya bersifat sesaat, Meminjam istilah dari Tomi TanbijoEasy come dan easy go” gampang terkenal, tapi gampang pula tenggelam.
Dalam konteks nilai estetika, bagaimana yang disuguhkan kepada pengunjung betul betul pesona alami, bukan hasil rekayasa. Untuk mewujudkannya yang harus diperhatikan adalah bagaimana menjaga lingkungan pada obyek wisata tersebut tidak rusak. Konservasi adalah faktor mutlak dalam pengembangan wisata bahari. Konsep pengembangan wisata bahari yang berkelanjutan merupakan tantangan untuk membangun wisata dengan kapasitas dan mutu dari produk-produknya yang dihasilkan tidak mengurangi kerusakan lingkungan.
Selanjutnya sumberdaya pesisir dan laut bersifat open access dan common property kalau tidak dikelola dengan baik, pasti akan terjadi yang sering disebut tragedy of the common. Tragedi Kepemilikan Bersama timbul saat setiap manusia berusaha mengambil kekayaan alam yang menjadi milik bersama untuk kepentingan pribadinya, sehingga merugikan baik alam itu sendiri atau makhluk lainnya.
Untuk menghindari semuanya ini dalam pengembangan wisata bahari sangat diperlukan nilai etika yakni dengan mengedepankan pentingnya moral dan etika tentang tanggung jawab dan perilaku terhadap alam dan budaya masyarakat sekitar/lokal, yang harus dita’ati oleh semua pihak. Untuk itu pengelolaannya harus dilakukan secara co-management (kemitraan masyarakat dan pemerintah), yang meliputi kombinasi "bottom-up" dan "top down approaches", desentralisasi pengelolaan aspek-aspek tertentu, dan menghidupkan kembali pengelolaan berbasis masyarakat (community-based management).
Sehingga kedepannya untuk mendapatkan keuntungan dari menjual keunggulan wilayah pesisir dan lautnya pemerintah setempat harus memperhatikan aspek-aspek penting dari nilai-nilai lingkungan, sosial dan budaya masyarakat lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar